How Mental Illness Perceived As Wanted Qualities

Oleh : Arini Baasir (NPM 10050021227)

[Juara 1 Psycreticle Batch 2]

“Tugas banyak banget dehhhh aku bisa depresi lama-lama”
Warga kemah pernah pernah nggak sih pas lagi Scrolling media sosial, tiba-tiba ketemu komentar seperti contoh di atas? Mungkin pernah, ya. Sampai beberapa tahun lalu, gangguan mental masih dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak banyak disinggung. Tapi benar adanya loh, sekarang kita sering lihat istilah-istilah gangguan mental yang dengan sengaja digunakan untuk menjelaskan perasaan sehari-hari. Kira-kira kenapa, ya?

Seiring dengan perkembangan zaman, media sosial dan media publikasi lainnya semakin baik dalam menyediakan konten dan informasi yang personal bagi kita. Butuh Tutorial ngupas bawang? Atau navigasi resto terbaru? gampang lah, kan tinggal Searching. Begitu juga informasi mengenai gangguan mental dan gejala-gejalanya, saat ini dapat dengan mudah ditemukan dan diakses melalui media massa. Kita bahkan bisa lihat cuplikan informasi tentang gangguan mental di film atau sekedar konten yang lewat di media sosial secara tidak sengaja.

Kebanyakan informasi yang kita peroleh memang bersumber dari media yang kita konsumsi. Sehingga, tidak jarang pandangan kita tentang suatu hal dipengaruhi oleh bagaimana media menggambarkannya. Seorang psikolog klinis bernama Otto Wahl menyebutkan bahwa 72% media tradisional lama, seperti film dan acara televisi, menggambarkan karakter dengan gangguan mental sebagai tokoh yang kasar atau memiliki peran kriminal seperti pembunuh dan penjahat. Menurutnya, hal ini membuat publik memandang gangguan mental sebagai hal yang berkonotasi negatif. Tapi kalau kita lihat sekarang, banyak media sosial yang menyediakan Platform bagi penggunanya untuk mencari dan berbagi informasi tentang gangguan mental dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Mengenai ini, psikolog bernama Brown berpendapat bahwa segala bentuk akses publikasi tentang gangguan mental lama kelamaan bisa membentuk iklim normalisasi dan persepsi yang salah. Miskonsepsi dalam topik ini seakan membentuk pesona indah dan membenarkan gejala yang muncul pada pengidap gangguan mental. Istilah baru yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini adalah ’Romantisasi Gangguan Mental’.

Neurodevelopmentalist bernama Shrestha menjelaskan romantisasi gangguan mental sebagai bentuk penggambaran yang membuat hal itu dipandang lebih menarik dari kenyataannya dan membuat Audience yang melihat jadi ingin memilikinya. Saat ini, banyak media yang menggambarkan gejala bipolar, kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya sebagai hal yang unik dan mempesona. Membuat persepsi publik tentang gangguan mental seakan hal itu merupakan sesuatu yang indah. Romantisasi ini bisa jadi merupakan bentuk metode Coping bagi pengidap gangguan mental. Walau begitu, hal ini seringkali tidak disadari sehingga efek potensialnya bisa lebih serius daripada yang dibayangkan. Penggambaran ini membuat banyak penderita gangguan mental akhirnya memilih untuk tidak menjalani pengobatan karena merasa spesial, dan membuat orang yang tidak memilikinya melakukan Self-Diagnose. Perlu kita ingat bahwa emosi yang diekspresikan oleh orang lain di media sosial dapat mempengaruhi emosi yang kita rasakan juga, sehingga penting bagi kita untuk menjaga informasi apa yang kita konsumsi dari media.

“The meaninglessness of suffering, not the suffering itself, was the curse that lay over mankind so far” — Nietzsche, On the Genealogy of Morality

Sumber Referensi:

[Foto botol obat berisi mutiara berjudul “Hours Like Days” oleh Kelsey] diambil dari
https://www.flickr.com/photos/kelseyweaverphotography/12670690473/in/photostream/.
[Foto timbangan dengan bunga berjudul “Step Off Your Altar” oleh Kelsey] diambil dari
https://www.flickr.com/photos/kelseyweaverphotography/12670690473/in/photostream/.
Brown, S. (2016). Romanticization of Mental Illness. [Video]. Diambil dari
https://www.youtube.com/watch?v=_BxM0E2yYfE&t=208s.
Chan, D., & Sireling, L. (2010). ‘I want to be bipolar’…A New Phenomenon. The Psychiatrist, 34(03), 103-105.
Shrestha, A. (2018). Echo: The romanticization of mental illness on Tumblr. 69 Echo: the Romanticization of Mental Illness on Tumblr| Anima Shrestha. Chicago.
Wahl, O. F. (2006). Media madness: Public images of mental illness. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *