Oleh: Nellen Fadillah Permata Rachman (NPM: 240310200030)
“Duh, sorry banget ya telat, kemarin gue masih aja dikejar deadline organisasi A, belum lagi ada rapat sama speaker webinar buat organisasi B, duh mana tuga gue belom kelar lagi buat besok. Lo udah belom?” lalu temannya ini menjawab “Ih parah sama banget lagi, kemaren gue jadi panitia pembagian minyak goreng di karang taruna komplek, mana abis itu gue langsung balik ke kampus ngerjain proker UKM. Lo gimana?” temannya ini bertanya kepada kamu. “Aku? Aku weekend kemarin quality time sih bareng keluarga.” Teman-teman kamu malah menertawakan kamu “ahahhaha dasar ga produktif lo, masa muda kok ngga sibuk” dan kamu yang ngga terima dengan perkataan teman-temanmu itu menjawab “lho, itukan yang ngebedain hari kerja sama hari libur, kalo hari libur kalian pake kerja, terus kapan waktu otak dan pikiran kalian istirahat?.”

Wah, wah kalian liat ilustrasi di atas jadi keinget lagu Rihanna yang liriknya ‘work, work, work work, work~’ deh. Perilaku teman-teman kamu yang super sibuk itu sebenarnya memiliki bahasa kekiniannya sekarang, lho!. Dikutip dari laman Kementerian Ketenagakerjaan, suatu standar di masyarakat yang menganggap bahwa hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya disebut dengan hustle culture.
Bisa dibilang, budaya hiruk pikuk tersebut sudah ada sejak sebelum undang-undang keselamatan kerja yang dibawa oleh Revolusi Industri untuk mengekang eksploitasi pekerja dan pekerja anak yang tunduk pada kondisi kerja yang tidak manusiawi termasuk lingkungan kerja yang berbahaya, upah rendah, dan jam kerja yang panjang. Perbedaan generasi sekarang yang memungkinkan budaya hiruk pikuk diterima dari jauh sebagai gaya hidup, adalah persepsi budaya hiruk pikuk, terutama tentang branding diri sebagai hal yang tak terpisahkan. Sekitar 45% tenaga kerja memposting tentang “kerja glamor” mereka di media sosial sebagai sinyal menjadi karyawan yang berdedikasi dan berkomitmen (Robinson, 2019).
Namun, karena ada keinginan untuk menjadi segera sukses di usia muda, memiliki kemampuan untuk membeli barang mewah, ingin di kenal dan anggapan lainnya ini membuat seseorang menjadi cepat mengalami stress karena terus-menerus dibayang bayangi oleh pekerjaan dan deadline yang kian padat.
Lalu apa yang terjadi ketika seseorang tidak bisa lepas dari pekerjaan? Pentingnya work-life balance ini baru mulai dipelajari karena produktivitas menjadi prioritas di Amerika dan negara-negara yang mematuhi langkah-langkah produktivitas serupa, seperti Jepang dan Cina (“Obsesi Produktivitas”). Negara-negara tersebut bahkan mampu menerapkan jam kerja lebih dari 12 jam sehari bagi para karyawannya untuk memenuhi pencapaian mereka dan mendapat kestabilan ekonomi yang tinggi. Saat pekerjaan menyapu bersih semua aspek kehidupan lainnya, seseorang jatuh korban dari apa yang diidentifikasi oleh Derek Thompson sebagai “workisme.” Workism ini menggambarkan tindakan memuja pekerjaan seseorang dengan dedikasi yang taat dalam kemampuannya memberikan identitas, komunitas, dan tujuan (Thomspon). Alih-alih hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan dasar untuk hidup, bekerja diharapkan dapat memberikan rasa transendensi menjadi makna yang lebih besar, pemenuhan, dan kepuasan emosional.
Namun, beberapa karyawan mungkin tidak dilengkapi dengan bandwidth fisik atau emosional untuk mempertahankan tekanan akibat budaya hiruk pikuk, yang kemudian menyebabkan kelelahan karyawan. Sebagai contoh, World Health Organization (WHO) kini menggolongkan burnout sebagai “fenomena pekerjaan” akibat tidak bisa menghargai masukan dan pencapaian kerja seseorang (Wilkie, 2019). Kelelahan karyawan kemudian secara psikologis memposisikan karyawan untuk terus berusaha berbuat lebih banyak dan menciptakan gaya hidup yang “always-on” (Morgan, 2016).
Maka dari itu, budaya hustle culture ini sebetulnya membahayakan orang-orang yang menerapkannya dalam jangka panjang, karena dengan waktu lembur dan terus-menerus bekerja tanpa adanya waktu istirahat, badan kita akan lebih mudah terserang penyakit di masa yang akan datang. Masa kita baru merasakan hidup enak karena kerja keras kita di masa lalu, di masa depan kita harus menghabiskan waktu kita dengan serang berbagai penyakit berbahaya. Jangan sampai ya. Jagalah pola hidup yang seimbang antara pekerjaan dan istirahat, karena segala sesuatu yang berlebihan itu memang tidak pernah baik.
Daftar Pustaka
Hernández-Medina, E. (2021). Review of “The Cuban Hustle: Culture, Politics, Everyday Life”. Social Forces, 100(2), e22-e22. https://doi.org/10.1093/sf/soab082.
Emily Absher. (2020). WHAT YOU LOVE IS KILLING YOU: STOPPING HUSTLE CULTURE IN THE PERFORMING ARTS. Texas State University.