Oleh Daphna Ivanka Latisha (10050019064) & Fathiya Jasmine (10050020038)

Sudahkah kamu melihat film dokumenter Netflix dengan judul Keep Sweet: Pray and Obey? Film dokumenter tersebut merupakan serial dari netflix yang menceritakan mengenai suatu sekte di Amerika Serikat yang dipimpin oleh Warren Jeffs dengan nama Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints. Berdasarkan film dokumenter tersebut kita dapat melihat praktik yang dilakukan oleh sekte tersebut, mulai dari ajaran yang mereka percaya, hingga pelecehan yang dialami oleh anggota-anggotanya. Namun, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hal apa yang dipraktekan di dalam sekte tersebut, kira-kira apa itu sekte?
Sekte atau lebih sering dikenal dengan sebutan cult didefinisikan oleh kamus modern bahasa Inggris sebagai kelompok sosial yang melakukan praktek kepercayaan agama, rohani, atau filsafat secara tidak lazim, mereka juga biasanya memiliki ketertarikan yang serupa seperti pada kepribadian, objek, atau tujuan tertentu.
Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints (disingkat menjadi FLD) merupakan suatu sekte dengan kepercayaan Mormon yang salah satunya adalah mempercayai praktik Poligami. Warren sendiri memiliki total istri hingga 70-80 orang dan 20 diantaranya masih berusia di bawah 17 tahun. Warren juga mengajarkan kepercayaan radikal mormon kepada para pengikut setianya untuk mengisolasi keluarga dari satu sama lain dan memfasilitasi pernikahan yang diinginkan secara terus menerus. Selain dari pelecehan terhadap gadis di bawah umur (melalui pernikahan terhadap gadis di bawah umur yang ia lakukan) ia juga memiliki kepercayaan yang fanatik bahwa orang-orang berkulit hitam merupakan suruhan dari iblis. Karena pandangan ini FLD pun dilabelkan sebagai organisasi kebencian (hate-group).

Selain dari FLD sendiri, ada banyak juga sekte yang terkenal di Amerika Serikat seperti Jonestown, Heaven’s Gate, hingga The Manson Family, mereka semua dikenal sebagai sekte terlarang dikarenakan menyebabkan melayangnya sejumlah nyawa. Selain dari itu ada juga sekte dari Jepang dengan nama Aum Shinrikyo yang melakukan penyerangan gas sarin di stasiun bawah tanah hingga merenggut 15 nyawa dan melukai 5000 orang lainnya. Namun, tidak seluruh sekte diklasifikasikan sebagai berbahaya, contoh lainnya adalah sebuah sekte dengan nama Scientologist yang memiliki Tom Cruise sebagai salah satu anggotanya. Akan tetapi, apa sebenarnya yang membuat orang lain mau mengikuti suatu sekte?
Banyak orang yang mempercayai bahwa korban dari sekte merupakan individu yang sudah “dicuci-otak”, namun berdasarkan Amanda Montell pada bukunya yang berjudul Cultish: The Language of Fanaticism menjelaskan bahwa dengan mengatakan individu yang mengikuti suatu sekte sebagai “tercuci-otak” kita mengabaikan kemampuan seseorang untuk berpikir. Kita menganggap mereka sebagai mesin yang tidak berdaya dan tidak mampu membuat keputusan sendiri hingga pemikiran mereka dapat “dicuci” begitu saja.

Amanda Montell juga menjelaskan bahwa suatu sekte menarik pengikutnya melalui
3 teknik utama yaitu: conversion, conditioning, dan coercion dengan bahasa sebagai alat utama mereka.
- Conversion, tahap ini merupakan dimana suatu sekte akan membuat individu merasa dipahami dan spesial. Mereka menggunakan suatu teknik dengan nama love-bombing untuk meraih kepercayaan individu tersebut. Love bombing ini merupakan istilah yang umum digunakan ketika seseorang memberikan begitu banyak atensi dan afeksi yang seringkali mengarah pada timbulnya timbal balik berupa perasaan cinta dari target yang dituju dengan tujuan untuk menarik orang tersebut agar bergabung ke dalam suatu sekte. Selain itu, teknik ini dapat membuat target melakukan apa yang diperintahkan meski perilaku tersebut menyimpang sebab ia sudah terbutakan oleh rasa cintanya pada oknum atau figur dari sekte tersebut.
- Conditioning, hal ini memerlukan stimulus dan respon dalam pembentukannya. Hal ini dilakukan secara berkala dan melalui berbagai taktik hingga individu merasa bahwa mereka tidak dapat hidup lagi jika mereka keluar dari sekte tersebut. Hal inilah yang menyebabkan seseorang tetap mengikuti suatu sekte dalam keadaan apa pun.
- Coercion, pada tahap ini individu diyakinkan untuk melakukan hal diluar keyakinan, moral, kenyataan, ataupun etikanya, hal ini ditanamkan oleh sekte yang ia ikuti untuk menganut paham “ends-justify-the-means” walaupun hal tersebut mengarah kepada keburukan.
Hal utama dari ketiga tahap itu adalah penggunaan bahasa dalam melakukannya. Suatu sekte akan membentuk dikotomi “kita vs mereka” membuat para pengikutnya merasa bahwa hidup di dalam sekte tersebut merupakan hidup di dalam suatu kebenaran, sedangkan orang lain yang tidak mengikuti sekte tersebut merupakan orang-orang bodoh yang tidak memahami arti dari hidup. Yang paling krusial dalam sekte bukanlah orang-orang mengalami “pencucian otak” melainkan mereka yang terpengaruh oleh hasutan bahasa dari sekte mereka, dan menyadari terlalu terlambat mereka sudah terlalu dalam di dalamnya.
Seorang pemimpin sekte menggunakan teknik psikologis yang dapat menipu dan mempengaruhi perilaku, emosi, dan pikiran individu. Bahkan jika dilakukan pada situasi yang “tepat”. pribadi yang biasanya rasional dan waras sekali pun dapat terbuai.
Kebanyakan orang cenderung menyalahkan individunya alih-alih faktor situasional ketika seseorang bergabung dengan aliran sesat. Hal ini merupakan kesalahan penilaian yang disebut fundamental attribution error. Faktor situasional ini dapat membuat seseorang lebih reseptif menerima ajaran sekte.
Lalu, kapan saja kita rentan untuk menjadi target untuk dilakukan brainwash?
- Saat kita merasa kesepian. Dapat terjadi ketika kita kehilangan orang yang disayangi baik itu karena kematian atau perpisahan — perceraian atau putus hubungan. Maka dari itu, banyak anggota yang berhasil direkrut di kampus, bandara, dan rumah sakit.
- Ketika kita merasa depresi. Misalnya rasa depresi yang timbul ketika kita mengalami kerugian pribadi. Sekte biasanya menawarkan janji untuk menenangkan keresahan kita agar kita merasa lebih baik dalam jangka waktu yang cepat.
- Ketika kita merasa tidak tidak terpenuhi dan puas mengenai ajaran spiritual yang dianut. Biasanya seseorang yang sedang dalam proses mencari tahu rasa penasaran mereka terhadap suatu dogma, rentan untuk menjadi target perekrut sekte untuk melakukan conversion.
Ketiga hal tersebut tampaknya umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sulit untuk dihindari. Akan tetapi, kita dapat menghalau suatu manipulasi dengan cara mengedukasi diri, menanyakan pertanyaan yang tepat pada diri kita seperti menanyakan kenapa ketika kita merasa diperlakukan begitu dicintai secara tiba-tiba oleh orang yang baru dikenal – dimana ini berpotensi sebagai love-bombing. Beberapa di antaranya ialah dengan menyadari bahwa sangat wajar ketika kita
memiliki suatu emotional needs seperti yang tertera di atas, mampu mengidentifikasi apakah emotional needs kita sedang dimanipulasi oleh seorang oknum, dan memahami bahwa diri kita merupakan individu otonom yang memiliki kebebasan diri untuk dapat memilah informasi dan berkehendak tanpa terpengaruh kontrol orang lain.
Orang yang berhasil meninggalkan sekte biasanya disebabkan karena ia menyadari bahwa dirinya telah mengalami banyak disonansi kognitif. Misalnya anggota sekte yang telah melihat terlalu banyak hal yang tidak masuk akal, dan terlalu banyak kontradiksi akan apa yang diajarkan oleh sektenya. Sekte yang destruktif membuat seseorang berada dalam kegelapan, dimana mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang diubah melalui teknik yang tercantum di atas. Tetapi spektrum pengetahuan yang luas adalah kunci untuk melindungi diri kita dari praktik tersebut.
Sumber Referensi :
Griffiths, M.D., 2019, February 14. Love Bombing: What is it and is it addictive?.
Psychology Today.
Murray. W., 2021, Augustus 25, How to Protect Yourself from Mind Control Techniques and Cult Recruitment (it;s not as far-fetched as you think). Thriveworks.
Montell, A., 2021. Cultish: The Language of Fanaticism. USA: Harper Wave.